Berdemo dengan Tulisan

Berdemo dengan Tulisan




Banyak cara yang diungkapkan bila seseorang, sekelompok, atau siapa saja yang merasa tidak puas dengan sesuatu, terhadap sesuatu. Salah satunya adalah dengan cara berdemontrasi. Demontrasi merupakan hal yang lumrah di negara yang menganut demokrasi. Tapi perlu diingat bahwa demontrasi, bukan demontrasi tak bernilai, tak memberikan efek, demontrasi membabi buta.
Saya ingat, apa yang disampaikan oleh seorang pakar sejarah, Syafii Maarif. “Unjuk rasa sebagai cara menyampaikan pendapat adalah hal yang biasa dalam negara yang menganut demokrasi. Namun, etika dalam berdemontrasi itu tetap harus dijaga dan jangan merugikan kelompok masyarakat lain” (kompas,28/11). Apa yang disampaikan Buya, panggilan Syafii, adalah sebuah refleksi buat mereka akan melakukan unjuk ketidakpuasan terhadap sesuatu. Karena selama ini, banyak yang dirugikan akibat demontrasi yang tak menggunakan etika ini.
Lalu adakah solusi agar demontrasi kita membawa etika? Ada saja, namun, bagi mereka yang ingin mengamalkannya agar sabar dan tegar. Apa itu, adakah manteranya?
Ya, berdemolah dengan menulis! Saya kira, bila ini dipraktikkan, maka tragedi berdarah tak akan lagi ada. Yang ada, paling tidak pertarungan wacana di alam media. Itu lebih bagus dan efektif, ketimbang, berdemo tidak memakai hati nurani. Memang, ini diakui sangat susah untuk menggiring ke arah sana. Bukan menafikan demo turun ke jalan tidak bagus, atau tidak efektif. Itu juga bagus dan boleh, tapi, masalahnya, maukah jatuh korban sebagaimana tahun 98?
Ok, yang mau demo, silakan demo ke jalan, ke istana, ke DPR, atau kemana saja. Yang mau pake cara lain, semisal menulis, saya pun turut mengacungkan jempol semua jari. Tengs buat siang ini.